Perjuangan Petani Desa Embalut Bertanam di Lahan Kritis

intuisi

13 Mar 2025 13:58 WITA

Kepala Desa Embalut, Yahya saat dijumpai oleh awak media. (Kontributor intuisi.co)

Tenggarong, intuisi.co- Di Desa Embalut, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara (Kukar), industri tambang telah lama mendominasi. Namun, beberapa petani tetap berjuang mempertahankan tradisi bertani meskipun lahan pertanian semakin menyusut dan tanah kehilangan kesuburannya.

Menurut Kepala Desa Embalut, Yahya, luas sawah yang tersisa kini hanya sekitar 40 hektare, jauh berkurang dari ratusan hektare sebelumnya karena eksploitasi tambang. “Sawah padi kami tersisa cuma sekitar 40 hektare. Itu pun kualitasnya sudah turun jauh dibanding dulu,” ujarnya, Kamis (13/3/2025).

Upaya reklamasi tambang yang dilakukan belum mampu sepenuhnya mengembalikan kesuburan tanah. Banyak lahan yang dikembalikan dalam kondisi miskin unsur hara, sehingga sulit untuk ditanami. “Ini lahan ekstrem. Pemulihannya butuh waktu 3 sampai 4 tahun. Harus sabar dan rajin pupuk organik,” jelas Yahya.

Menyikapi kondisi ini, petani mulai beralih dari padi ke tanaman yang lebih tahan terhadap tanah marginal, seperti jagung, cabai, dan singkong. Pola tanam pun diubah dengan sistem rotasi untuk menjaga keseimbangan nutrisi tanah.

Tantangan lainnya adalah kebutuhan pupuk yang tinggi akibat rendahnya unsur hara di tanah. Harga pupuk kimia yang terus naik menambah beban petani. Untuk mengatasi hal ini, sistem integrasi pertanian dan peternakan mulai diterapkan.

Petani memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk organik guna memperbaiki struktur tanah. “Kami mencoba integrasi dengan peternakan sapi. Kotorannya kami olah jadi pupuk kandang, jadi lebih murah dan lebih ramah lingkungan,” kata seorang petani setempat.

Meski sudah ada inisiatif lokal, petani masih kesulitan mendapatkan pendampingan teknis dari penyuluh pertanian. “PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) kami sudah hampir dua tahun tidak pernah turun ke desa. Padahal, petani kami butuh bimbingan teknis untuk mengelola tanah yang rusak,” keluh Yahya.

Selain aspek teknis, menumbuhkan kembali minat generasi muda untuk bertani juga menjadi tantangan. Selama bertahun-tahun, sektor tambang lebih menarik bagi mereka dibanding pertanian.

“Banyak anak muda berpikir bertani itu melelahkan dan kurang menguntungkan. Padahal, kalau dikelola dengan baik, bertani bisa jauh lebih menguntungkan daripada kerja di tambang,” ujar Yahya.

Untuk mengubah persepsi ini, pemerintah desa mengedukasi masyarakat tentang pertanian modern berbasis bisnis. Yahya mencontohkan bahwa satu hektare jagung saja bisa menghasilkan keuntungan hingga Rp50 juta per musim.

“Kalau 1 hektare jagung bisa untung Rp50 juta, kenapa tidak? Masalahnya selama ini bertani tidak diajarkan sebagai bisnis, tapi hanya sekadar bertahan hidup,” tegasnya.

Saat ini, Desa Embalut mulai membangun sistem pertanian yang lebih terarah ke pasar. Petani didorong untuk memahami strategi pemasaran, mencari mitra dagang, serta mengakses program pendanaan guna mengembangkan usaha mereka.

Meski berbagai kendala masih menghadang, petani di Embalut tetap berusaha bangkit dengan inovasi pertanian dan strategi pemulihan lahan. Dengan pendekatan yang tepat, mereka yakin bahwa pertanian tetap memiliki masa depan di tengah gempuran industri tambang.

“Saya percaya kalau kita kelola dengan ilmu dan mau belajar, pertanian tetap punya masa depan di Embalut,” pungkas Yahya. (adv/ara)

Ikuti berita-berita terbaru Intuisi di Google News!