Samarinda, intuisi.co – Dugaan intimidasi terhadap lima wartawan oleh oknum aparat di Samarinda memasuki babak baru. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim memastikan mengawal proses hukum kasus tersebut.
Sabtu, 10 Oktober 2020 sekitar pukul 15.00 Wita, lima jurnalis korban intimidasi tersebut membuat laporan resmi ke Propam Polresta Samarinda sesuai Pasal 18 UU Nomor 40/1999 tentang Pers Jo Pasal 335 (1) dan Pasal 351 (1) KHUP tentang Penganiayaan.
“Karena kami menilai, saat rekan korban menceritakan kronologi, ada dugaan penganiayaan. Bahwa itu terbukti atau tidak, itu kita lihat dari hasil pemeriksaan nanti,” terang Sabir Ibrahim, kuasa hukum para korban.
Sebanyak lima jurnalis lokal mengalami kekerasan fisik saat menjalankan tugas jurnalistik di Samarinda.
Mereka adalah Samuel Gading (Lensa Borneo/dijambak), Mangir (Disway Nomersatu Kaltim/diinjak kakinya), Kiky (Kalimantan Tv/dipukul bagian dada), Yuda Almeiro (IDN Times/diintimidasi), dan Faishal Alwan Yasir (Koran Kaltim/ditahan sementara di Polres).
Lima jurnalis ini mendapat tindak represif dari aparat pada Kamis malam, 8 Oktober 2020, saat meliput aksi di depan Mapolresta Samarinda.
Setelah pelaporan tersebut, para korban akan dipanggil pada Senin, 12 Oktober 2020 untuk membuat berita acara. Sederet barang bukti tindakan represif oknum aparat berupa foto hingga video juga telah siap.
“Mereka berlima mengalami kejadian yang berbeda-beda. Tapi mereka berlima semuanya merekam video dengan titik yang berbeda. Jadi, video mereka masing-masing ini lah yang akan disampaikan,” tutur Sabir, kuasa hukum dari Jaringan Advokasi Masyarakat (JAM) Borneo ini.
Koordinator AJI Balikpapan Biro Samarinda Nofiyatul Chalimah menegaskan komitmen AJI mendampingi para jurnalis hingga mereka mendapat hak-haknya. Pelaporan tersebut sebagai upaya memberikan efek jera kepada para pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Apalagi, kasus kekerasan yang dialami lima jurnalis bukan yang pertama di Kaltim. Selama ini, kasus kerap berakhir permintaan maaf.
Untuk itu, para korban juga berhak menuntut haknya sebagai warga negara dan jurnalis yang pekerjaannya sudah dijamin oleh undang-undang. Kekerasan fisik dan intimidasi terhadap pewarta bisa diproses pidana karena secara nyata dan terbuka menghalangi-halangi kerja-kerja pers.
Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 40/1999 tentang Pers, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta”. “Setiap orang” dalam pasal itu termasuk polisi.
Sepanjang April 2019-Mei 2020, AJI mencatat ada 31 kasus yang dilakukan oleh anggota Polri.
Dua momen kekerasan terjadi ketika jurnalis meliput demonstrasi besar di bulan Mei dan September tahun lalu. Ditarik lebih jauh, medio 2006-September 2020, AJI mencatat ada 785 jurnalis jadi korban kekerasan.
Kekerasan fisik nangkring di nomor satu kategori jenis kekerasan (239 perkara); disusul pengusiran/pelarangan liputan (91); dan ancaman teror (77). Dalam ranah pelaku, 65 orang merupakan anggota polisi, 60 massa, dan 36 orang tidak dikenal.
AJI juga meminta kepolisian menghormati Nota Kesepahaman Dewan Pers-Polri terdaftar dengan Nomor: 2/DP/MoU/II/2017 dan Nomor: B/15/II/2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan. (*)