HeadlineSorotan

Sejarah Panjang Perantauan Penduduk Tionghoa di Samarinda

Etnis Tionghoa sudah sejak lama bermukim di Samarinda. Membangun hubungan erat dengan penduduk asli hingga turut berjuang dalam kemerdekaan Indonesia.

Samarinda, intuisi.co – Tahun Baru Imlek sebentar lagi. Hari besar rakyat Tionghoa yang telah berlangsung berabad-abad. Indonesia termasuk satu dari ratusan negara yang ikut merayakan. Tak lepas dari riwayat panjang negara ini dengan Tiongkok.

Hubungan panjang antara Indonesia dan Tiongkok diperkirakan sudah terjadi sejak sebelum masehi. Dimulai oleh perdagangan dan kunjungan para musafir beragama Hindu atau Buddha. Ditandai kehadiran patung batu di Pasemah, Sumatera Selatan, yang memiliki kemiripan dengan patung kuburan Jenderal Huo K’iuping (Qubing) tahun 117 SM (sebelum masehi) dan benda keramik di Sumatera, Jawa, serta Kalimantan berangka tahun 45 SM seperti dicatat Tri Wahyuning M Irsyam dalam Golongan Etnis Tiongkok sebagai Pedagang Perantara di Indonesia, Seminar Sejarah Nasional IV di Yogyakarta, hal 2, 1985.

Keberadaan orang-orang Tiongkok di Indonesia juga lebih dulu daripada orang-orang Eropa. Seperti disebutkan MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (hal 6, 1991), perkampungan etnis Tionghoa mula-mula ini terletak di pesisir Utara Jawa seperti Tuban, Demak, dan Jepara pada abad ke-15 atau sekitar tahun 1400.

Kedatangan Awal ke Bumi Etam

Di Kaltim, riwayat antara Bumi Etam dengan warga Tiongkok juga terekam dalam sejarah. Seperti diungkap sejarawan Muhammad Sarip dalam bukunya: Dari Jaitan Layar Sampai Tepian Pandan: Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kartanegara (hal 60, 2018). Berdasarkan Salasiah Kutai, pada masa Aji Batara Agung Dewa Sakti, sekitar abad 12, tahun 1300-1325, rombongan pedagang Tionghoa berlabuh di Kutai Lama. Dipimpin keturunan raja dari Tiongkok.

Saat itu, terjadi permainan judi sabung ayam antara Aji Batara Agung Dewa Sakti dengan kepala rombongan Tiongkok tersebut. Siapa yang kalah, harus menyerahkan kapal beserta isinya. Tak dinyana, rombongan Tiongkok kalah dalam judi adu unggas tersebut.

“Rombongan Tiongkok bersiasat meminta penangguhan waktu serah terima barang taruhan. Ternyata mereka mempersiapkan diri melarikan diri pulang ke negeri asalnya,” tulis Sarip. Namun demikian, upaya melarikan diri gagal. Di tengah perjalanan sekitar perairan Sangkulirang, kapal Tiongkok karam.

samarinda
Proses pemakaman etnis Tionghoa di Samarinda pada 1898 (digitalcollections.universiteitleiden.nl/KITLV Leiden)

Istilah Tionghoa dalam Penamaan Kutai?

Dari kisah tersebut, Sarip menginterpretasikan bahwa dari berdirinya kerajaan Kutai Kartanegara, sudah diikuti interaksi serta hubungan dengan Tiongkok. Bahkan konon sebelum terbentuknya kerajaan di Kutai Lama, orang-orang Tiongkok sudah biasa menyusuri Sungai Mahakam. Disebut-sebut untuk kepentingan perdagangan ke Muara Kaman yang terdapat Bandar Kutai Martapura.

“Interaksi dengan Tiongkok yang sudah lama terjalin ini juga diperkuat versi yang menyebutkan asal-usul nama Kutai dari bahasa Tiongkok yakni Kho-Thay, yang diartikan kerajaan besar,” sebut Sarip.

Dalam catatan Sarip lainnya di Samarinda Tempo Doeloe: Sejarah Lokal 1200-1999 (hal 71, 2017) juga disebutkan masa awal kehadiran etnis Tionghoa di Samarinda, masyarakat lazim menyebut dengan istilah “Tionghoa” sebagai kata yang berkonotasi wajar. Sedangkan penggunaan kata “Cina” saat itu sudah dianggap kasar. Pada 1846 juga telah eksis dua orang Tionghoa di Samarinda. Seperti tercatat dari riwayat Assistant Resident Oost Borneo pertama H Vande Wall kepada Gubernemen Belanda.

Tepat 30 tahun kemudian, atau pada 1879, penelitian Carl Bock menemukan penambahan populasi orang Tionghoa di Samarinda yang telah bertambah ratusan jiwa. Merebaknya migrasi warga Tionghoa ke Kaltim pada abad ke-19, diduga dilatarbelakangi kegemaran merantau dan berdagang ke berbagai penjuru dunia.

“Selain itu, mereka juga terpikat dengan kekayaan alam seperti batu bara yang banyak terkandung di bumi Kaltim, terutama Kutai Kartanegara,” tulis Sarip.

Kekayaan Kaltim yang terus tersiar ke Negeri Tirai Bambu, kian memicu kedatangan orang Tionghoa ke Bumi Etam. Mengarungi laut hingga menembus sungai-sungai di pedalaman Bumi Etam. Di Samarinda, warga Tionghoa pun membangun permukiman tak jauh dari lokasi kapal berlabuh. Yaitu kawasan Straat Te-eng atau kini Jalan Yos Sudarso; dan Bloem Straat, sekarang Jalan Mulawarman. Penduduk Tionghoa juga menyebar hingga Jalan Niaga Timur, eks Kompleks Pinang Babaris.

samarinda
Potret kawasan Pecinan di Samarinda pada 1930 tepatnya Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Karang Mumus, Samarinda Ilir (digitalcollections.universiteitleiden.nl/Koot & Co)

Perkampungan Tionghoa di Samarinda

Seiring waktu, kawasan-kawasan tadi ditetapkan sebagai perkampungan Tionghoa oleh pemerintah kolonial kala itu. Juga dikenal sebagai pusat pertokoan karena banyaknya rumah yang difungsikan sebagai usaha perdagangan. Pembeli pun ramai karena lokasinya di tepi jalan raya dan sangat berdekatan pasar.

Samarinda Tempo Doeloe: Sejarah Lokal 1200-1999 (hal 105) juga mencatat sekolah Tionghoa pertama di Samarinda bernama Tsung Hua Hwee Kwan (THHK), sesuai nama kelompok pendidinya. Dibangun pada 1900 untuk menyebarkan tradisi dan moral Tionghoa menurut ajaran Kong Fu Tse. Pusat pendidikan tersebut rata dengan tanah saat petaka kebakaran pada 4 April 1957. Lokasinya sekarang di Jalan Niaga Timur.

Sekolah Tionghoa lainnya di Samarinda juga terdapat di Jalan Mulawarman. Bernama Balai Belajar Tionghoa yang diresmikan pada 1906. Saat itu, sejumlah pejabat Dinasti Qing disebut hadir lengkap dengan jubah khasnya. Tak ketinggalan pula dihadiri perwakilan pemerintah Belanda. Kini, balai belajar tersebut menjadi markas Dinas Pemadam Kebakaran Samarinda. “Informasi ini berdasarkan riset Dragono Halim (mantan pewarta Samarinda Pos),” ungkap Sarip.

Riwayat panjang hubungan antara warga Tionghoa dan Indonesia, membuat ikatan keduanya makin kental waktu demi waktu. Tak sedikit tokoh-tokoh Tionghoa ikut berjuang memerdekakan Nusantara. Di Kaltim, Moeis Hassan pernah mencatat etnis Tionghoa ikut dalam perjuangan kemerdekaan adalah Go Sek Lim dan ayahnya, Go Sian Kwan, lebih dikenal Ahmad Gozali Katianda.

Keduanya juga mendapat sertifikat pengakuan sebagai pejuang kemerdekaan dari Legiun Veteran Kemerdekaan Republik Indonesia (LVRI) Samarinda, berdasarkan testimoni Moeis Hassan. Konon, Go Sian Kwan membantu gerilyawan melarikan diri dari penjajah Belanda dengan menyembunyikan mereka di rumahnya. Sementara Go Sek Lim adalah figur pertama yang mengibarkan Bendera Merah Putih di Kaltim setelah mendengar berita kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Tokoh Tionghoa dalam Perjuangan

Dalam sambutannya yang ditulis lewat buku Anak Kampung yang Keliling Dunia oleh Ahmad Gozali Katianda terbitan 2012, Moeis menyebut Gozali Katianda sebagai sosok yang tak kenal menyerah. Keluarga ini juga dikenal tidak begitu banyak bergaul secara eksklusif kepada sesama keturunan Tionghoa. Cenderung bergaul dengan orang asli Kampung Teluk Lerong. Gozali pun beralih agama dari Kong Hu Chu menjadi muslim.

“Dia bersama perusahaannya menjadi pionir dalam penyelenggaraan ONH plus pada 1985,” imbuh Sarip.

Prof Liji Liang dalam bukunya berjudul Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis: 2000 Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia (2012), menyatakan bahwa pada masa pergerakan nasional etnis Tionghoa memang turut ambil bagian dalam kemerdekaan. Mereka yang tercatat meliputi Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjian Hok, dan Tjio Djien Kwie yang turut serta dalam Sumpah Pemuda.

Selain itu ada Liem Koen Hian, pendiri Partij Tionghoa Indonesia pada 1932, Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Tan Eng Hoa, dan Liem Koen Hian. Kelimanya menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Sayangnya, setelah kemerdekaan, hubungan Tiongkok-Indonesia mengalami pasang-surut. Sejumlah peristiwa sempat meretakkan hubungan tersebut. Seperti masalah dwikewarganegaraan lewat PP 10/1959 yang mengakibatkan puluhan ribu etnis Tionghoa terusir dari daerah-daerah pedalaman. Memicu terjadinya pembekuan hubungan pada 30 Oktober 1967.

Saat rezim orde baru tumbang dan Indonesia memasuki era reformasi serta demokrasi, hubungan tersebut perlahan-lahan membaik hingga terjalin kemitraan strategis. (*)

 

View this post on Instagram

 

A post shared by intuisi.co (@intuisimedia)

Berita Terkait

Back to top button
Close

Mohon Non-aktifkan Adblocker Anda

Iklan merupakan salah satu kunci untuk website ini terus beroperasi. Dengan menonaktifkan adblock di perangkat yang Anda pakai, Anda turut membantu media ini terus hidup dan berkarya.