Deru mesin kapal nelayan bercampur dengan embusan angin laut membawa aroma asin dengan samar ke tepi laut, Teluk Kadere, Lok Tunggul, Kelurahan Bontang Lestari, Kota Bontang. Di kejauhan, cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berdiri gagah, menebar kepulan asap putih ke udara ketika tengah malam menjemput.
Di sisi lain, terminal bongkar muat batu bara sibuk mengangkat emas hitam menuju gudang penyimpanan. Bagi warga sekitar pemandangan itu seolah biasa, namun diam-diam mereka menyimpan kecemasan.
Salah satu dari sekian keluhan adalah debu hitam. Cerah–bukan nama sebenarnya– selalu memulai hari dengan membersihkan debu hitam batu bara yang menempel di meja makan. Debu itu begitu halus, seperti serbuk arang, menutupi piring, gelas, bahkan baju-baju yang baru dicuci juga tak bisa menghindar.
“Kalau pagi, lubang hidung kami hitam semua,” katanya saat ditemui prolog.co.id dan intuisi.co pada awal Agustus 2025.
Sumbernya berdiri tak jauh dari rumah. Gudang penyimpanan batu bara, bagian dari kompleks PLTU Teluk Kadere yang dibangun pada 2018. Dari dapurnya, bangunan itu terlihat seperti raksasa diam, memuntahkan debu tak kasat mata ke arah permukiman. Angin hanya menjadi kurir yang setia mengantar partikel itu masuk ke celah-celah rumah warga.
Debu bukan sekadar mengotori. Tiga anak Cerah kini hidup dengan limfadenitis TB atau biasa disebut TB kelenjar. Anak sulungnya berusia 10 tahun, disusul adik laki-laki 8 tahun, dan si bungsu, perempuan berusia 5 tahun.
“Yang kecil, benjolannya sampai sekarang belum hilang,” ucapnya pelan. Mereka telah berobat rutin lebih dari setahun, namun benjolan di leher tetap membandel, seolah enggan pergi.
Dia masih mengingat awal mula petaka sakit itu hadir. Sekitar tahun 2020, anak pertamanya jatuh sakit. Setahun kemudian, dua adiknya menyusul. Benjolan–gejala TB kelenjar– disertai batuk dan demam muncul hampir bersamaan. Dokter yang memeriksa kalau itu hanya memberi penjelasan singkat.
“Besar kemungkinan karena paparan debu batu bara,” ujarnya mengulang perkataan dokter tersebut.
Sejak itu, hidup mereka penuh penyesuaian. Piring dan gelas harus dicuci sebelum digunakan. Perabotan dibungkus plastik agar tak tertutup lapisan hitam. Pakaian, terutama yang berwarna putih tidak lagi dijemur di luar. Situasi tersebut kian membuat rumah semakin sesak.
“Kalau angin kencang, semua jadi hitam,” katanya.
Padahal, ketika pindah ke Lok Tunggul pada 2017, udara masih bersih. Dia dan keluarganya juga betah, meski harus hidup sederhana. Namun setahun kemudian, suara alat berat dan debu konstruksi menjadi bagian dari keseharian. Makin miris saat gudang batu bara mulai beroperasi, butiran hitam itu tak hanya di luar tapi masuk ke dalam rumah.
Kini, dia hanya bisa berharap pengobatan anak-anaknya membuahkan hasil. Dia juga tahu benar selama PLTU Teluk Kadere masih beroperasi, debu batu bara benar-benar tak akan hilang. Ia sudah membersihkan rumah setiap hari, tapi rasa itu hanya bertahan sebentar sampai angin datang lagi membawa partikel hitam yang tak pernah lelah singgah.
Dari hasil pengamatan prolog.co.id dan intuisi.co di lokasi, jarak rumah warga dengan gudang penyimpanan batu bara begitu dekat. Bahkan ada yang jaraknya benar-benar bersisian dengan kompleks PLTU Teluk Kadere, tak sampai 50 meter. Bukan hanya pemukiman, jarak cerobong pembangkit listrik yang beroperasi sejak 2019 ini sangat dekat dengan sekolah dasar. Diukur menggunakan Google Earth, jaraknya hanya berkisar 500-an meter.
Dermaga yang diperuntukan pengangkutan batu bara milik PT Graha Power Kaltim (GPK), pengelola PLTU pun dekat dengan lokasi usaha warga yang berada di tepi laut. Jaraknya, hanya berkisar 200-an meter saja. Alhasil, debu batu bara debu batu bara memang sudah menjadi pemandangan warga saban hari. Dekat atau jauh, hasil pembakaran PLTU atau pengangkutan dari kapal, sama-sama akan diterima warga Lok Tunggul.
Rumput Laut Semaput, Ekonomi Kusut
Bukan hanya masalah kesehatan, kehadiran PLTU Teluk Kadere juga ikut merubah wajah perekonomian Kampung Lok Tunggul. Warga yang dulunya sebagian besar adalah nelayan dan petani rumput laut kini mulai beralih. Lebih memilih menjadi buruh di pembangkit listrik. Jika pun masih ada yang bergantung pada hasil laut, hanya segelintir warga, seperti Hariyani dan keluarganya.
Sejak tahun 80-an, Hariyani memang telah tinggal di Kampung Lok Tunggung. Menggantungkan hidup dari hasil laut. Membantu suaminya yang menjadi petani rumput laut dan mencari ikan untuk lauk-pauk harian.
Ia ingat betul kala hasil budidaya rumput laut masih melimpah pada sekitar 2015-2018 lalu. Pelataran dermaga kayu ulin selalu dipenuhi rumput laut. Menjadi tempat penjemuran sebelum dijual. Namun, kini budidaya rumput laut di Lok Tunggul tinggal kenangan. Jangankan untuk menjemur hasil panen, untuk menanam rumput laut saja susah. Sebab, area yang dulunya menjadi budidaya rumput laut kini telah tergusur dermaga dan alur kapal bermuatan batu bara.

“Bergeser tempatnya pasang rumput laut, pindah sebelah ke sana dekatnya Indominco (perusahaan tambang),” kata Hariyani sambil menunjuk lokasi budidaya yang kini berpindah ke sisi selatan.
Keputusan untuk memindahkan lokasi budidaya rumput laut rupanya tetap tidak menjamin hasil panen. Bahkan dalam empat tahun terakhir Hariyani dan suaminya hanya baru sekali panen pada Juli 2025 lalu. Sisanya, gagal total. Adapun harga rumput laut kering per kilonya dihargai tengkulak berkisar Rp14-15 ribu.
“Alhamdulillah kemarin sudah ada yang dipanen sedikit, cuma empat karung yang keringnya. itu sekitar 4 kiloan per karung ini,” sebutnya.
Selama empat tahun terakhir, Hariyani dan anaknya aktif berjualan kudapan di dermaga kampung Lok Tunggul. Ia mencari penghasilan tambahan agar dapur tetap mengepul dan menabung untuk biaya kuliah anak ketiganya di luar daerah.
Usahanya di warung kayu berukuran 3×5 meter pun tak lepas dari dampak PLTU Teluk Kadere. Pelabuhan pengangkutan batu bara yang jaraknya hanya berkisar 180 meter turut menyumbang debu. Menempel di setiap meja dan kursi warung miliknya.
“Iya serba salah, di rumah kena debu PLTU, di sini (warung) juga kena dari pelabuhannya,” tutupnya.
Beda kisah dengan Hariyani, Salman pemuda Kampung Lok Tunggul yang sebelumnya nelayan memilih bekerja di PLTU Teluk Kadere. Ia bekerja sebagai pekerja harian lepas sejak pembangunan pada 2017 lalu. Bekerja sebagai helper sejak pukul 07.30 WITA hingga 17.00 WITA dengan bayaran Rp105 ribu per hari. Tujuannya, agar memiliki pendapatan yang lebih banyak dari upah bulanan, sedangkan nelayan hanya sebagai sampingan untuk mencari lauk.
Namun, angan-angan Salman atas penghidupan yang lebih baik dari PLTU Teluk Kadere harus kandas. Ia tidak lagi dipekerjakan sejak 2019 setelah mempertanyakan statusnya sebagai tenaga kerja yang tidak kunjung dikontrak. Ia meminta agar haknya sebagai tenaga kerja yang diberikan, termasuk dari sisi jaminan kesehatan dan jaminan sosial.
“Harian lepas itu kan terombang-ambing, kamu dilepaskan kapan aja bisa. Makanya saya berinisiatif sama teman-teman untuk mempertanyakan. Waktu itu banyak sih ada lebih 20-an (pekerja),” sebutnya.
Tuntutan hak pekerja yang berujung pemutusan hubungan kerja ini tidak hanya menimpa Salman saja, satu rekannya pun bernasib serupa.
Selama lima tahun dirumahkan, Salman kembali menjadi nelayan sepenuhnya. Tetapi, hasil tangkapnya tidak lagi sama. Ruang tangkapnya kini semakin mengecil. Tergerus pelabuhan PLTU Teluk Kadere dan perusahaan Crude Palm Oil yang menghimpit Kampung Lok Tunggul.
Jika ingin melaut lebih jauh, kapalnya yang berdaya 5 paard kracht (PK) tidak akan mampu berhadapan ombak besar. Alhasil, dalam sehari paling banyak hanya mendapat 3 kilogram cumi dengan harga Rp70 ribu per kilo. Itu pun jika cuaca mendukung.
“Pendapatan itu masih kotor. Kalau kita taksir satu bulan ada sekitar Rp1 juta lebih lah, kalau misalnya rezeki bagus mungkin Rp2 jutaan,” sebutnya.
Upaya mendapatkan pundi rupiah selain dari nelayan sebenarnya telah dicoba Salman dengan cara membantu ke petani rumput laut seperti yang dilakukannya sebelum PLTU Teluk Kadere berdiri. Namun, lagi-lagi petani rumput laut juga mengalami kendala dalam budidaya. Area budidaya telah berganti menjadi dermaga kapal pengangkut batu bara. Padahal menurutnya, dahulu pendapatan petani rumput laut sangat berlimpah. Sedikitnya bisa mencapai 1 ton dalam sekali panen.
“Dahulu kan menanam rumput laut di jalurnya jetty ini. Makanya, sebelum ada PLTU Teluk Kadere lebih baik menjalani profesi nelayan daripada masuk perusahaan karena penghasilannya besar. Kasarannya sekali panen bisa-bisa mencapai Rp10 jutaan,” tutup Salman.
Sederet Polemik PLTU Teluk Kadere
Sejak perencanaan, PLTU Teluk Kadere yang dikelola PT GPK memang memicu sejumlah pertanyaan. Pada awal perencanaannya saja, dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PLTU Teluk Kadere pun tak luput dari sejumlah pertanyaan. Dokumen yang disosialisasikan pada medio 2015 di Kantor Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur ini tidak menyertakan adanya Kampung Lok Tunggul. Seakan tanah kosong tak bertuan. Padahal, kala itu kampung pesisir di RT 15, Kelurahan Bontang Lestari, dihuni 56 Kepala Keluarga (KK). Menjadi permukiman nelayan sejak 1975.

“Cuman beberapa tokoh saja (yang dilibatkan), termasuk saya. Ada beberapa yang saya sanggah, jumlah penduduk tidak sesuai dengan yang real di lapangan,” kata Achmad Zainal, mantan Ketua RT 15 Bontang Lestari yang ditemui pada awal Agustus lalu.
Bukan hanya soal permukiman, pria kelahiran Lok Tunggul 1980 ini turut mengkritik soal data jumlah nelayan. Saat itu hanya daerah yang notabene wilayah pesisir hanya berisi 5 nelayan saja. Itu pun sudah mencakup 3 RT, yakni RT 13, 14 dan 15.
“Kecuali saya dan satu guru lainnya pada saat itu. Jadi saya sampaikan saat itu, mungkin data yang diambil ini pada saat nelayan-nelayan ke laut, akhirnya enggak ketemu nelayan, ketemu adalah ibu rumah tangga dan kami yang kerja di darat,” sebut Zainal mengulang perkataannya dalam sosialisasi Amdal saat itu.
Dari segi pendapatan nelayan tertulis hanya berkisar Rp500 ribu. Padahal, dari pengalaman keluarganya yang merupakan nelayan dan petani rumput laut, pendapatan pada tahun 2012-2015 sangat besar. Seperti penghasilan kakaknya yang bisa mencapai Rp13 juta. Sebab, masa itu harga dan produksi rumput laut sangat bagus.
Pasca masalah Amdal PLTU Teluk Kadere muncul di berbagai media massa pada 2023 lalu, ia sempat kembali membaca dokumen itu. Ia pun baru menyadari jika dalam Amdal saat itu ada tertera pemeriksaan kesehatan rutin ke masyarakat sekitar. “Yang saya baca, yang tidak dilakukan itu adalah pemeriksaan kesehatan gratis, minimal 3 bulan sekali,” sebut Zainal.
Zainal juga mengingat, rencana pembangunan PLTU Teluk Kadere sudah mendarat di telinganya sejak 2011. Dia saat itu sebagai Ketua RT 15, mendengar jika pembangkit listrik akan dibangun di Lok Tunggul. Wacana relokasi pun muncul. Membebaskan lahan seluas 60 hektar dengan harga Rp15 ribu per meter. Tanpa menghitung nilai bangunan dan biaya tanam tumbuh.
“Sebenarnya awal perencanaan lokasi PLTU itu ya dulu Lok Tunggul. Saya lupa tanggal berapa, yang jelas itu hari Jumat setelah salat Jumat kami berkumpul dengan tim pembebasan,” kata Zainal.
Harga yang ditawarkan tak langsung diamini Zainal sebelum warganya bersepakat. Ia meminta waktu agar dapat bermusyawarah terlebih dahulu. “Setelah itu, salah satu tim itu rangkul saya, bilang Pak RT, kita usahakan minimal 60 hektar ini bisa dibebaskan, kalau memang toh bisa, Rp 1 M buat Pak RT,” kata Zainal mengulang kalimat yang dilontarkan tim pembebasan lahan saat itu. “Nah, disitulah saya berpikir berarti bukan Rp15 ribu harganya. Kenapa ada fee (biaya) seperti ini, sementara saya juga punya lahan,” sambungnya.
Bujukan itu rupanya tak mempengaruhi Zainal. Sebaliknya, ia malah mengutarakan sejujur-jujurnya ke warganya. Alhasil, warga bersepakat tidak ingin menjual tanahnya. Lokasi pembangunan pada 2012 akhirnya bergeser ke kampung Salantuko, RT 14–lokasi PLTU Teluk Kaderesaat ini.
“Saya cari tahu ternyata ya , ini yang 2011 datang ke Lok Tunggul. Mereka membebaskan dengan harga yang non-surat Rp22 ribu dan PPAT Rp25 ribu,” jelasnya.
Terlepas penolakan warga Lok Tunggul, pembangunan PLTU Teluk Kadere tetap berjalan. Walaupun pada awal beroperasinya di akhir 2019, beberapa protes warga turut mewarnai, di antaranya ketenagakerjaan dan debu batu bara.
Dari sejumlah persoalan, pria yang berprofesi sebagai guru ini berharap setidaknya PLTU Teluk Kadere mau menjalankan pemeriksaan kesehatan bagi warga sekitar. Setidaknya ada cara agar imunitas warga lebih baik, walaupun hidup berdampingan dengan PLTU Teluk Kadere. “Terserah nanti PLTU (Teluk Kadere) itu mau ngasih apa, yang penting bisa menambah apa daya tahan tubuh masyarakat,” tutupnya.

Sakit ISPA Melonjak Tajam
Di ruang kerja sederhana di Puskesmas Bontang Lestari, drg. Faradina membuka data pelayanan kesehatan semester pertama 2025. Angkanya mencapai 1.030 kasus untuk sakit hipertensi pada semester pertama 2025. Disusul flu 542 laporan kemudian Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA sebanyak 499 kejadian. Bila dibandingkan tahun lalu, flu menduduki posisi pertama sebagai penyakit dengan keluhan terbanyak yakni 1.299 laporan. Mengikuti di belakang sakit radang tenggorokan 888 kasus, lalu gangguan pencernaan 855 kasus dan ISPA sebanyak 649 kejadian (selengkapnya lihat grafis – Ispa Melonjak Tajam).
“Angka itu, konsisten dalam tiga tahun terakhir. Hipertensi dan ISPA hampir selalu menjadi tiga besar penyakit yang kami tangani,” kata Faradina.
Lebih lanjut dokter muda ini menerangkan, hipertensi merupakan penyakit tidak menular (PTM) yang erat kaitannya dengan pola makan, stres, dan minimnya aktivitas fisik. “Kalau ISPA, umumnya menyerang anak-anak. Penyebabnya beragam. mulai dari infeksi virus, batuk pilek, sampai asap rokok dari anggota keluarga,” imbuhnya lagi.
Namun di Bontang Lestari, pembicaraan soal ISPA tak bisa lepas dari topik debu batu bara. Warga dan pegiat lingkungan kerap menduga, partikel halus dari PLTU dan aktivitas industri sekitar menjadi salah satu pemicu meningkatnya keluhan pernapasan. Kendati demikian, Faradina berhati-hati menanggapi.

“Untuk korelasi itu, kami tidak bisa menjawab ada atau tidak. Belum ada laporan yang menunjukkan hubungan tersebut,” tegasnya.
Meski begitu, ia tak menampik bahwa paparan udara buruk dengan ragam sumber berisiko memperparah kondisi kesehatan seseorang. Menurutnya, masalah utama bukan kurang informasi, tapi rendahnya kemauan mengubah perilaku.
“Kalau bicara pencegahan, masker itu kuncinya. Masalahnya, masyarakat tahu risikonya tapi kesadarannya rendah,” katanya.
Bontang bukan kota industri kecil. Selain PLTU Teluk Kadere, kawasan ini juga menjadi rumah bagi kilang gas, pabrik pupuk, dan sejumlah fasilitas pengolahan batu bara.
Pemerintah pusat sebenarnya telah memiliki payung kebijakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur baku mutu udara ambien dan kewajiban pemantauan bagi industri. Namun, implementasinya di lapangan sering terkendala minimnya pengawasan berkelanjutan.
Kementerian Kesehatan juga mendorong penguatan deteksi dini penyakit akibat polusi udara melalui program Healthy City dan pengendalian PTM. Tapi di kota seperti Bontang, di mana industri dan permukiman berjarak rapat, pencegahan memerlukan kolaborasi lintas sektor yang konsisten.
Bagi Faradina, tantangan terbesar bukan hanya soal data atau alat medis, tapi membangun kebiasaan baru. “Kalau masyarakat mau disiplin pakai masker, kontrol tekanan darah, dan jaga kebersihan rumah, angka penyakit bisa turun. Tapi kalau perilaku tak berubah, kita hanya akan mengulang cerita yang sama tiap tahun,” katanya.
Puskesmas Bontang Lestari memiliki mekanisme pemantauan kesehatan berbasis kunjungan pasien. Jika ditemukan kasus yang perlu ditindaklanjuti, petugas akan melakukan tracing dan kunjungan rumah. “Dulu kader posyandu, sekarang disebut kader prima. Dan RT adalah garda terdepan kami,” ujarnya. Mereka memantau mulai dari bayi lahir, imunisasi, hingga penyakit kronis pada lansia.
Di sisi lain, sambung dia, edukasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dilakukan setiap bulan, sayangnya partisipasi warga rendah. Terkadang dari 100 undangan disebar, yang hadir hanya segelintir.
“Padahal, materi yang dibagikan mencakup pola makan sehat, pentingnya olahraga, cara mencegah penyakit pernapasan, dan perawatan rumah yang ramah lingkungan,” tuturnya.
Ketika ditanya soal potensi stunting akibat paparan polusi udara, Faradina mengaku belum ada kajian lokal. “Selama ini fokus kami PHBS dan kesehatan lingkungan. Mungkin ke depan bisa materi khusus untuk warga ring satu PLTU,” ujarnya.

Polutan Bikin Rentan
Riset soal polutan dari hasil pembakaran PLTU batu bara sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh pada cendekiawan. Termasuk limbah dari PLTU berbahan fosil seperti batu bara yang menghasilkan berbagai unsur. Dampaknya beragam, beberapa di antaranya akan berpengaruh pada kondisi kesehatan.
Dalam laporan Earthjustice–organisasi hukum lingkungan nirlaba– bertajuk How Breathing Coal Ash is Hazardous to Your Health menyebut debu batu bara begitu berbahaya bagi pernapasan manusia. Laporan yang ditulis oleh Alan Lockwood dan Lisa Evans, menerangkan debu abu batu bara terdiri dari partikel-partikel kecil; semakin kecil partikelnya, semakin besar risiko kesehatannya. Partikel ini terkecil dihirup ke bagian terdalam paru-paru, di mana mereka memicu peradangan dan reaksi imunologis. Beberapa partikel bahkan bisa menyebabkan penyakit jantung atau paru-paru, sementara yang lain mungkin masuk ke otak langsung melalui saraf di hidung. Potensi penyakit yang ditimbulkan oleh partikel kecil, terutama yang berdiameter aerodinamis kurang dari 2,5 mikrometer (PM2.5).
Dalam laporan Earthjustice lainnya berjudul Coal Ash Primer, pembakaran batu bara mengkonsentrasikan logam-logam yang secara alami terdapat dalam batu bara, termasuk unsur-unsur beracun. Di antaranya, arsenik, boron, kadmium, kromium, timbal, merkuri, selenium, dan bahan kimia berbahaya lainnya. Tanpa perlindungan yang memadai, bahan kimia yang telah merusak kesehatan manusia.
Unsur berbahaya abu batu bara dapat merusak setiap organ utama dalam tubuh manusia. Polutan dalam abu batu bara dapat menyebabkan kanker, penyakit ginjal, dan gangguan reproduksi, serta merusak sistem saraf, terutama pada anak-anak. Salah satu polutan yang paling umum dan mudah berpindah dalam abu batu bara adalah arsenik. Arsenik menyebabkan berbagai jenis kanker, termasuk kanker hati, ginjal, paru-paru, dan kandung kemih. Dua laporan ini merupakan kumpulan penelitian Earthjustice berjudul Coal Ash Contaminates Our Lives.
Pada saat peliputan di RT 15, Lok Tunggul, Prolog.co.id turut mengambil sampel debu dan tanah. Pengambilan sampel dilakukan pada 4-5 Agustus 2025. Sampel debu diambil dari rumah, kedai dan tempat ibadah warga. Adapun untuk sampel tanah diambil di sekitar rumah warga. Spesimen itu kemudian diuji kandungan unsurnya di laboratorium tanah dan air Politeknik Pertanian Negeri Samarinda.
Setidaknya ada 9 kandungan unsur kimia yang menjadi asumsi awal dari sampel tersebut. Dimulai dari Arsensenik (As), Kadmium (Cd), Kromium (Cr), Timbal (Pb), Merkuri (Hg), Nikel (Ni), Selenium (Se), Seng (Zn) dan Boron (B). Namun, dikarenakan keterbatasan alat laboratorium hanya tiga komponen kimia yang berhasil diuji, yakni Cd, Pb dan Zn. Upaya menggunakan laboratorium swasta untuk menguji elemen lain sudah dilakukan, namun hingga tulisan ini terbit tidak ada laboratorium di Samarinda yang mampu menguji keseluruhan unsur yang hendak diuji.
Dari hasil analisis laboratorium tanah dan air Politeknik Pertanian Negeri Samarinda, kedua sampel itu mengandung ketiga unsur yang diasumsikan. Dua di antaranya termasuk logam berat (selengkapnya lihat grafis / Hasil Uji Lab & Dampak Kesehatan).
Masih mengacu laporan Earthjustice, kandungan yang ditemukan dari uji laboratorium memiliki dampak jangka panjang terhadap kesehatan manusia. Bahan berbahaya yang terdapat dalam abu batu bara dapat merusak setiap organ utama dalam tubuh manusia, terutama pada anak-anak.
Paparan timbal dapat menyebabkan pembengkakan otak, penyakit ginjal, masalah kardiovaskular, kerusakan sistem saraf, dan kematian. Dalam komunitas medis, diakui bahwa tidak ada tingkat paparan timbal yang aman, terutama bagi anak-anak. Setelah timbal terlepas dari abu batu bara dan masuk ke air tanah atau ekosistem sungai, unsur berbahaya ini dapat masuk ke rantai makanan dan menumpuk secara biologis. Menyebabkan kerusakan serius pada satwa liar, serta mengancam manusia. Bukan hanya timbal, dua unsur yang ditemukan juga memiliki dampak kesehatan bagi tubuh manusia.

Penelitian lainnya Xiao Yun dan kawan-kawan dari China berjudul Coal Is Dirty, but Where It Is Burned Especially Matters mengungkap resiko penggunaan batu bara meningkatkan risiko kematian dini. Riset ini mengungkapkan bahwa penggunaan energi bersumber dari batu bara menyebabkan polusi udara berada pada tingkat PM2.59 di luar dan di dalam ruangan dari tahun 1970 hingga 2014. Dari rentang waktu tersebut sekitar 34 persen kematian dini ditemukan dengan dugaan utama diakibatkan oleh paparan PM2.5.
Dari Indonesia, Epidemiolog Enda Silvia Putri turut menyingkap dampak dari PLTU bagi kesehatan masyarakat di sekitarnya. Dalam penelitiannya berjudul Description of Acute Respiratory Infections (ARI) Trends in The High Risk Area Zone of Exposure To Coal Smoke of The Electric Steam Power Plant (ESPP)/PLTU Nagan Raya. Riset ini mengungkap kasus ISPA meningkat setiap tahun pasca aktifnya industri tersebut. Tren peningkatan ISPA sebanyak 10 persen/bulan selama tahun 2019-2020.
Blego Sedionoto, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman (Fakultas Kesmas Unmul) menyebut, keberadaan PLTU yang dekat pemukiman tentu memiliki dampak kesehatan bagi masyarakat. Tergantung dari baku utama yang digunakan dan polutan yang dihasilkan. Itu pun beragam, dampak kesehatan bisa dirasakan dalam jangka pendek atau jangka panjang.
Luasan dampak yang ditimbulkan juga bergantung pada ukuran debu hasil pembakaran. Jika semakin halus–di bawah PM10, maka jangkauan polutan akan lebih luas dan semakin lama bertahan di udara. Sebaliknya, jika ukurannya semakin besar seperti debu dari penumpukan batu bara, maka akan langsung dirasakan warga sekitar.
“Debu batu baranya berpotensi (membahayakan kesehatan) kalau jaraknya terlalu dekat sekali dan terus-menerus ada kontak,” kata Blego Sedionoto saat dijumpai di ruang kerjanya pada 19 Agustus 2025. “Memang kalau dari potensi hazard (kerugian kesehatan) bukan infektif, tapi punya potensi non-infektif. Jadi potensinya merusak jaringan pernafasan, biasanya kalau ada unsur asamnya misalnya sulfur dan sebagainya,” sambungnya.
Iritasi pada jaringan pernafasan atas, jika dikaji secara holistik dari anatomi tubuh manusia dan epidemiologi lingkungan, menurutnya tidak menutup kemungkinan potensi penularan penyakit terjadi. Sebab, tubuh akan lebih mudah terinfeksi dari bakteri. Seperti adanya warga yang terjangkit TB Kelenjar dan peningkatan ISPA di Bontang Lestari.
“Terbukanya jaringan tubuh yang membuat mudahnya infeksi dari bakteri TB tadi. Entah interaksi di rumahnya sendiri atau lingkungan yang lain, sehingga potensinya dari alurnya begitu, enggak enggak tiba-tiba batu bara menyebabkan TB, ini enggak logis dalam ranah ilmiah, tapi bisa berkaitan dengan jalur itu,” terang cendekiawan yang menjabat Wakil Dekan 2 Fakultas Kesmas Unmul ini.
Doktor lulusan Universitas Walailak, Thailand ini juga mengingatkan dampak polutan dari hasil pembakaran batu bara dari proses PLTU yang ukurannya di bawah PM10. Partikel halus tak kasat mata akan lebih mudah masuk dalam pernapasan manusia. Terlebih jika mencapai PM2.5.
“Dan ingat, emisi terbacanya bisa dalam bentuk fisik berupa PM tadi atau gas berupa unsur pecahan dari batu bara tadi,” katanya mengingatkan.
Blego turut membeberkan dampak kesehatan terpaparnya Cd, Pb dan Zn dari analisis lab yang telah dilakukan. Menurutnya, dampak kesehatan tidak bisa dilihat secara langsung, melainkan bisa terjadi dalam jangka panjang. Masing-masing unsur memiliki dampak kesehatan yang berbeda, sebab setiap zat memiliki target organ tubuh yang berbeda pula. Pun demikian dengan jalur masuknya dalam tubuh. Jika melalui jalur inhalasi atau pernapasan, maka dampaknya bisa lebih cepat, karena unsur berbahaya akan segera dipompa ke seluruh pembuluh darah bersamaan dengan kebutuhan oksigen.
Untuk timbal umumnya menyebabkan gangguan pada otak, ginjal hingga sistem saraf. Namun, jika terpaparnya melalui pernafasan, maka akan berpotensi masuk ke pembuluh darah. Logam berat yang berada di dalam darah kemudian akan mengganggu fungsi ginjal dan hati. Dampak yang paling ringan kemungkinan akan menyebabkan anemia, karena kekurangan hemoglobin darah akibat terikat dengan Pb.
“Tapi potensi masuk ke saraf akan mengganggu fungsi kognitif yang berpengaruh pada kecerdasan dan banyak penelitiannya paparan Pb dengan efek tingkat kecerdasan. Jadi bukan hanya dipengaruhi gizi, tapi kecerdasan juga bisa dipengaruhi pencemaran,” kata Blego.
Adapun untuk timbal, memiliki potensi karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker, di antaranya kanker paru-paru. Paparan kadmium dapat merusak selama paparan akut jangka pendek, namun lebih mungkin menjadi masalah jika terpapar kronis seiring waktu karena menumpuk di tubuh.
Paparan kadmium juga berpotensi pada kesehatan kardiovaskular seperti masalah tekanan darah. Sebab, kadmium dapat menyebabkan stres oksidatif pada sel dan merusak endotelium vaskular. Penyakit hipertensi akibat paparan logam berat ini berpotensi terjadi pada usia anak, bukan hanya pada orang berusia lanjut seperti umumnya. Paparan kadmium pada lingkungan anak dapat melalui beberapa mekanisme, termasuk disfungsi ginjal. “Kadmium ini kan berpotensi hipertensi, artinya bisa berpotensi juga ke ranah stroke. Tapi kalau untuk Zn memang tidak begitu toksik,” sebutnya.
Ia juga menggarisbawahi jika dampak negatif dari zat berbahaya bukan hanya dapat terpapar dari udara saja, melainkan dapat mengendap di lingkungan sekitar. Tumbuhan atau hewan dengan mobilitas rendah seperti kerang dan udang bisa saja mengandung logam berat. Akumulasi logam berat dalam biota ini akan memiliki dampak kesehatan buruk jika dikonsumsi. Zat berbahaya yang masuk melalui udara dan makanan dapat berpengaruh ke perkembangan janin selama masa hamil.
“Artinya kalau zat kimia itu beririsan teratogenik, ibu yang hamil yang terpapar pun bisa anaknya akan cacat. Jadi jangan dibayangkan mempengaruhi tumbuh kembang anak setelah lahir saja,” kata Blego mengingatkan.
Dari segi aturan, ia menyadari jika regulasi di Indonesia belum seketat negara lain. Seperti aturan Environmental Protection Agency (EPA)–organisasi pemerintah AS di bidang lingkungan– yang menetapkan standar baku mutu PM2.5 untuk kualitas udara. WHO juga memberlakukan standar yang serupa.
“Aturan kita sendiri yang kadang-kadang terlalu longgar untuk aspek bahaya lingkungan. Jadi selain parameternya itu yang agak longgar kemudian kita tidak menghitung potensi dan bioakumulasinya. Memang harusnya dapat menyesuaikan dengan industrinya bukan baku mutu umum dan lebih condong ke arah masyarakatnya,” terangnya.

Sementara itu, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Mustari Sihombing, menilai kehadiran PLTU Teluk Kadere di Lok Tunggul, telah meninggalkan jejak panjang kerusakan dan pelanggaran hak asasi manusia. Ia menyebut proyek energi berbasis batu bara itu sejak awal sudah bermasalah karena adanya dugaan manipulasi data dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
“Dalam dokumen Amdal, sebagian data soal perkampungan (Lok Tunggul) dihapus. Warga seolah tidak ada, sehingga PLTU Teluk Kadere bisa berdiri di tengah pemukiman yang sebenarnya masih eksis,” kata Mustari saat dihubungi.
Selain kesehatan, tekanan juga dialami warga dalam aspek ekonomi dan sosial. Sebelum PLTU beroperasi, sebagian masyarakat masih mengandalkan panel surya dan bekerja sebagai nelayan. Namun setelah PLTU berdiri, mereka dipaksa beralih menjadi buruh di perusahaan. “Begitu mereka protes, akses pekerjaan justru diputus. Ini bentuk intimidasi yang jelas melanggar hak asasi manusia,” ujar Mustari.
Ia menegaskan, kondisi itu menunjukkan ironi transisi energi di Indonesia. Alih-alih memperluas akses energi bersih, pembangunan PLTU justru mematikan inisiatif energi terbarukan skala komunitas. “Masyarakat dipaksa menggunakan listrik dari batu bara. Padahal mereka sebelumnya sudah mempraktikkan energi bersih melalui PLTS. Ini bukan transisi energi, melainkan eskalasi ekstraksi,” tegasnya.
Mustari mendesak pemerintah meninjau ulang proyek PLTU Teluk Kadere dan membuka ruang demokratisasi energi. “Warga seharusnya berhak memilih sumber energi sesuai kebutuhan. Negara tidak boleh memaksa masyarakat tunduk pada energi kotor demi alasan pembangunan,” ujarnya.
Sementara itu, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Mustari Sihombing, menilai kehadiran PLTU di Lok Tunggul, telah meninggalkan jejak panjang kerusakan dan pelanggaran hak asasi manusia. Ia menyebut proyek energi berbasis batu bara itu sejak awal sudah bermasalah karena adanya dugaan manipulasi data dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
“Dalam dokumen Amdal, sebagian data soal perkampungan (Lok Tunggul) dihapus. Warga seolah tidak ada, sehingga PLTU bisa berdiri di tengah pemukiman yang sebenarnya masih eksis,” kata Mustari saat dihubungi.
Selain kesehatan, tekanan juga dialami warga dalam aspek ekonomi dan sosial. Sebelum PLTU Teluk Kadere beroperasi, sebagian masyarakat masih mengandalkan panel surya dan bekerja sebagai nelayan. Namun setelah PLTU berdiri, mereka dipaksa beralih menjadi buruh di perusahaan. “Begitu mereka protes, akses pekerjaan justru diputus. Ini bentuk intimidasi yang jelas melanggar hak asasi manusia,” ujar Mustari.
Ia menegaskan, kondisi itu menunjukkan ironi transisi energi di Indonesia. Alih-alih memperluas akses energi bersih, pembangunan PLTU Teluk Kadere justru mematikan inisiatif energi terbarukan skala komunitas. “Masyarakat dipaksa menggunakan listrik dari batu bara. Padahal mereka sebelumnya sudah mempraktikkan energi bersih melalui PLTS. Ini bukan transisi energi, melainkan eskalasi ekstraksi,” tegasnya.
Mustari mendesak pemerintah meninjau ulang proyek PLTU Teluk Kadere dan membuka ruang demokratisasi energi. “Warga seharusnya berhak memilih sumber energi sesuai kebutuhan. Negara tidak boleh memaksa masyarakat tunduk pada energi kotor demi alasan pembangunan,” ujarnya.
DLH Minta Warga Melapor jika Ada Dugaan Pelanggaran
Rudiansyah, Kepala Bidang Penaatan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalimantan Timur, mengatakan jika selama ini pihaknya rutin melakukan pemantauan. Namun, pemantauan tahunan hanya mengacu pada dokumen AMDAL, tepatnya dalam Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Memastikan apakah pengelola menjalankan RKL-RPL.
“Dari hasil laporan dan pengawasan termasuk hasil validasi untuk emisinya sesuai dengan baku mutu, sehingga ya kita anggap ini aman,” kata Rudiansyah yang ditemui di ruang kerjanya pada 15 Agustus 2025.
Laporan lingkungan yang diterima DLH Kaltim itu dikirim perusahaan ke Sistem Informasi Pelaporan Elektronik Lingkungan Hidup (SIMPEL) Kementerian Lingkungan Hidup. Namun, untuk akses pelaporan tidak dapat diakses secara umum. Begitu pula untuk dokumen AMDAL setiap perusahaan.
Meski demikian, Rudiansyah tak menutup pintu pengaduan lingkungan dan dampak kesehatan dari masyarakat. Jika ada keluhan, maka masyarakat disarankan untuk segera melapor. Sehingga, aduan masyarakat dapat menjadi pintu agar pengawasan dapat dilakukan diluar pengawasan tahunan. Sebab, dalam pengawasan tahunan hanya memastikan RKL-RPL PLTU telah dijalankan.
“Mungkin ada hal-hal lain yang kadang-kadang juga di dokumen AMDAL tidak tercover dan sebagainya, nanti itu ada dalam melalui mekanisme pengaduan itu sendiri. Jadi masyarakat silakan yang ingin memberi warning dilaporkan ke kami,” tegasnya.
Untuk aduan, masyarakat dapat dapat bersurat atau langsung datang ke kantor DLH Kaltim. Pengaduan juga bisa dilakukan secara online melalui SP4N Lapor.
Sementara terkait adanya peningkatan ISPA, Rudiansyah menyebut jika peningkatan itu harus dikaji lebih jauh. Terlebih, Kota Bontang memiliki kawasan industri, termasuk di Kelurahan Bontang Lestari.
Adapun dari laporan lingkungan yang diterima oleh DLH Kaltim, PLTU Teluk Kadere telah menggunakan teknologi pulverizer untuk mengubah batubara menjadi bubuk halus sebelum dibakar di dalam boiler. Teknologi ini diklaim dapat meminimalkan potensi emisi yang dihasilkan dari pembakaran batu bara.
Kendati demikian, Rudiansyah tak menampik jika semakin halusnya partikel debu hasil pembakaran maka dapat memiliki dampak pada kesehatan, terutama jika terpapar jangka panjang. “Iya memang semakin halus semakin beresiko, kalau PM 5 atau PM 10, PM 10 itu sudah ke-ISPA itu,” sebutnya.
Dari segi peraturan, kata Rudiansyah melanjutkan, FABA dari PLTU Teluk Kadere saat ini sudah dikategorikan dalam limbah non-B3 atau bukan limbah bahan berbahaya dan beracun. Kategori ini mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 yang sebelumnya masuk dalam masuk limbah B3 dalam.
Pada pelaporan lingkungan PLTU Teluk Kadere yang diterima DLH Kaltim, mengacu PP 101 Tahun 2014 dan PP 22 Tahun 2021. Namun, kedua beleid ini tidak mewajibkan adanya pengukuran partikel debu yang sangat halus seperti PM10 atau PM2.5 sebagai minimum baku mutu lingkungan. Sedangkan untuk aturan di daerah dalam bentuk Perda atau Pergub, saat ini belum tersedia.
Alhasil, pemantauan rutin DLH Kaltim tidak sampai menguji partikel debu yang sangat halus. Pemantauan hanya mengacu RKL-RPL PLTU Teluk Kadere. Kendati demikian, Rudiansyah akan mencoba mengusulkan penambahan parameter dalam bentuk Perda atau Pergub.
“Berarti coba kami mencoba membijaki bahwa memang perlu parameter PM10 atau sampai ke PM5. Kita juga akan buka dokumen lingkungannya ada nggak kewajiban untuk mengukur PM10 atau 5,” sebutnya.
Sementara untuk pemeriksaan kesehatan ke warga sekitar, DLH tidak sampai masuk ke ranah tersebut. Namun, pemeriksaan kesehatan rutin setiap 3 bulan yang disebutkan tercantum dalam AMDAL, Rudiansyah akan kembali mempelajari dokumen tersebut. Jika tertera maka DLH Kaltim perusahaan akan mendapatkan teguran karena tidak melaksanakan kewajibannya. Termasuk jika ditemukannya pelanggaran lingkungan.
“Kalau ada salah dan tidak sesuai (aturan), ya kita sanksi,” tutupnya.
Jawaban PT GPK Pengelola PLTU Teluk Kadere
PT GPK, pengelola PLTU Teluk Kadere, mengklaim telah menjalankan langkah mitigasi lingkungan sesuai standar yang berlaku. Humas PT GPK, Agus, menegaskan semua prosedur telah dipatuhi, termasuk pelaporan rutin ke Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
“Intinya kita ikuti standar prosedur. Enggak mungkin kami enggak ikutin. Semua laporan tiap tiga bulan, enam bulan, itu pasti ada. Sekarang semuanya ke provinsi (DLH Kaltim),” ujar Agus saat ditemui pada 4 Agustus 2025.
Menurut Agus, pemantauan kualitas udara dilakukan secara berkala. Sistem pelaporan kini sudah online, sehingga dapat dipantau oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Namun, detail teknis pemantauan diserahkan kepada konsultan lingkungan yang dikontrak perusahaan. “Kalau soal teknis, tanya ke konsultan saya. Dia yang bikin laporan,” kata Agus.
Menanggapi laporan Puskesmas Bontang Lestari soal peningkatan kasus ISPA di wilayah sekitar, Agus menyebut penyebabnya tidak bisa serta-merta dikaitkan dengan keberadaan PLTU. “Bisa aja dari mana-mana. Jalanan rusak berdebu bertahun-tahun juga bisa jadi penyebab,” ujarnya.
Selain mitigasi lingkungan, PT GPK menjalankan program tanggung jawab sosial (CSR) berupa penyaluran dana ke kelurahan. Dana yang tak disebutkan nominalnya itu digunakan sesuai arahan lurah, misalnya untuk perbaikan jalan. “Kalau kami bagi-bagi ke warga, enggak cukup. Jadi dana kita serahkan ke kelurahan,” jelasnya.
Dari informasi dari masyarakat yang namanya tidak ingin disebutkan, PT GPK telah mengeluarkan dana CSR selama tiga tahun belakangan. Dana CSR terakhir disalurkan untuk tahun 2024 digelontorkan sebesar Rp115 juta. Dana itu diserahkan ke Kelurahan Bontang Lestari, kemudian dibagi ke tiga RT, yakni RT 13, 14 dan 15. Masing-masing RT mendapatkan Rp35 juta.
Prolog.co.id berupaya mencari besaran dana CSR yang digelontorkan PT GPK melalui website perusahaan, namun hingga tulisan ini terbit laman perusahaan tidak ditemukan. Pun demikian dengan annual report dan financial report yang dicari melalui daring.
Adapun ketentuan pemberian CSR diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Besarannya, 2-4 persen dari total keuntungan dalam setahun.
Kembali ke Agus. Ia turut mengungkap keterbatasan daya serap tenaga kerja di perusahaan. Dari total 280 karyawan, jumlahnya jauh di bawah industri besar seperti PKT atau Badak LNG. “Kita kecil sekali. Enggak mungkin nambah lagi, ada perjanjian juga,” ujarnya.
Soal hubungan dengan nelayan, Agus menyebut perusahaan telah memberikan kompensasi pada 2017, termasuk penggantian alat tangkap rumput laut. “Semua sudah diganti rugi. Masa enggak mungkin sih enggak ada kompensasi,” tegasnya.
PLTU Teluk Kadere berkapasitas dua kali 100 MW ini menjual seluruh pasokan listrik ke PLN. “Kontraknya begitu. Kami enggak boleh jual ke pihak lain. Bahkan kami pun bayar listrik,” kata Agus.
Zulfian, konsultan lingkungan yang mewakili PT GPK dan menangani pengelolaan dampak lingkungan PLTU Teluk Kadere, ikut menambahkan berbagai upaya mitigasi yang dilakukan perusahaan. Mulai dari pengelolaan limbah cair hingga pemantauan kualitas udara dilakukan secara rutin, meski warga sekitar tetap mengeluhkan persoalan debu batubara dan meningkatnya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
“Kalau pengelolaan mitigasi itu sendiri pasti ada. Untuk air limbah kami punya instalasi IPAL. Salah satunya untuk air resi basin. Dari udara selain di cerobong, kami juga ada Emission Monitoring System (EMS) dan beberapa penunjang teknologi lainnya,” kata Zulfian yang ditemui pada 15 Agustus 2025.
Menurutnya, pemantauan udara di cerobong dilakukan setiap hari dan bersifat real time. Sementara untuk pemantauan kualitas udara di wilayah sekitar, pengukuran dilaksanakan enam bulan sekali. “Kalau kondisi sekitar masih sesuai baku mutu,” ujarnya. Standar baku mutu itu, tambahnya, mengacu pada PP Nomor 22 Tahun 2021 yang memuat parameter TSP (Total Suspended Particulate) biasanya meliputi karbon monoksida dan nitrogen oksida. Namun pengukuran detail partikel halus seperti PM2,5 belum dilakukan karena dalalm aturan yang diacunya hanya mewajibkan TSP.
Zulfian juga menyinggung pengelolaan limbah abu terbang (FABA) yang sudah dikategorikan non-B3. “FABA dari hasil PLTU masuk ke silo, ditumpuk dalam waktu tertentu, sebelumnya kerja sama dengan pihak ketiga. Sekarang masih menunggu kerja sama baru. Uji TCLP hasilnya di bawah baku mutu, jadi aman,” katanya.
Terkait kesehatan masyarakat, ia mengakui pemeriksaan rutin lebih difokuskan pada pekerja. “Secara aturan, di dokumen AMDAL ada, tapi dominan untuk pekerja. Untuk masyarakat, pola kerja samanya lewat RT atau Puskesmas. Kalau ada koordinasi terkait kesehatan, bisa dikoordinasikan,” ujarnya. Ia menambahkan, data kesehatan seperti kasus ISPA hanya bisa diperoleh melalui Dinas Kesehatan, bukan langsung dari Puskesmas.
Meski demikian, warga di sekitar PLTU mengeluhkan debu yang masuk ke rumah hingga tiga kali sehari. Beberapa bahkan mengusulkan kompensasi berupa susu untuk anak-anak. “Langkah perusahaan tetap melakukan penyemprotan di area sekitar, memantau arah angin, dan menanam pohon sebagai penghalang di pagar perusahaan,” kata Zulfian. Namun ia mengakui tidak semua pohon penghalang tumbuh dengan baik di luar area perusahaan.
Soal dokumen AMDAL, Zulfian menegaskan dirinya tidak ikut dalam penyusunan awal. “Saya masuk setelah PLTU beroperasi sekitar 2019. Jadi konsultan AMDAL sebelumnya bukan saya. Memang ada pembahasan soal Lok Tunggul, tapi karena skalanya kecil, di peta administrasi kelurahan terlihat seolah tidak ada,” katanya.
Menanggapi permintaan warga agar perusahaan melakukan pemeriksaan kesehatan, Zulfian menyebut hal itu di luar kapasitasnya sebagai konsultan. “Kalau soal rencana pemeriksaan kesehatan untuk warga, itu bukan kapasitas saya. Tapi nanti saya sampaikan ke perusahaan,” ucapnya. (*)