Sorotan

Kisah Pasangan Lansia di Samarinda 17 Tahun Hidup di Tengah Hutan Tanah Merah

Pasangan lansia ini tinggal di tengah hutan kawasan Rimbawan, Tanah Merah, Samarinda Utara. Dalam gubuk renta yang bocor tiap hujan.

Samarinda, intuisi.co – Sepasang lansia di Samarinda hidup di tengah hutan. Tanpa listrik, tanpa air PDAM. Selama hampir dua dekade.

Pasangan tersebut adalah Dawari, 77 tahun dan Mardiana, 55 tahun. Menetap di hutan kawasan Rimbawan, Kelurahan Tanah Merah, Kecamatan Samarinda Utara, sejak 17 tahun lalu.  “Saya tinggal di sini berdua saja (dengan istri),” ujar Dawari, Selasa sore, 22 September 2020.

Rumah Dawari hanya berukuran 2×3 meter. Berdinding kayu beratap seng bekas. Tampak sudah bersalin warna menjadi cokelat. Belasan tahun dimakan usia. Terpal biru yang menjadi tarup tambahan. Menjadi alas dari kering yang tampak memenuhi atap.

Lokasi kediaman Dawari dan istri memang tak terlihat dari jalur utama, Jalan Poros Samarinda–Bontang. Untuk menjangkaunya pun perlu waktu yang tak sebentar. Letaknya di dalam hutan. Kira-kira satu kilometer jaraknya. Hanya bisa dilalui kendaraan roda dua.

“Namanya hidup, ada susah. Ada juga yang enak. Seperti air laut, pasang dan surut. Kami nikmati saja,” katanya kemudian menyimpul senyum.

Dari Kebun Jadi Hutan

Raut sedih tak bisa disembunyikan Dawari dari balik guratan kerut wajah tuanya. Umurnya sudah tujuh dekade. Bersama istrinya menetap di gubuk reyot tersebut sejak 2003. Tatkala diberi mandat menjaga kawasan kebun yang kini menjadi hutan. Penuh pepohonan rindang.

Hidup di sekitar alam yang asri, pasangan ini juga mesti selalu siap jika alam jadi tak bersahabat. Ketika hujan, atap-atap tua rumahnya sudah tak sanggup menahan. Maka ketika langit bergemuruh, keduanya selalu pindah tempat. Ke kandang ayam yang tak lagi dipakai. Berjarak tiga meter dari kediaman kecilnya. Ukuran kandang ayam tersebut bahkan jauh lebih kecil. Muat berdua pun harus berdesakan.

“Kami pindah-pindah. Kalau ini (rumah) bocor pindah ke sana (sambil menunjuk kandang ayam). Kalau di sana bocor pindah ke sini,” terangnya.

Tanpa listrik, sumber penerangan ketika malam hanya mengandalkan cahaya rembulan. Sesekali ditambah api kecil lilin jika memiliki uang cukup. Keduanya, mengais rupiah dengan menjual botol plastik bekas. Botol plastik ini juga yang turut memenuhi rumahnya.

Sampah-sampah tersebut merupakan sumber penghasilan utama pasangan ini. Jika tak ada yang terjual, tak ada uang untuk sesuap nasi. Beruntung ada saja warga sekitar yang memberi perhatian. “Tetangga kadang ada kasih beras dan ikan,” imbuhnya.

Sementara untuk mandi, keduanya menampung air hujan. Kadang menggunakan air parit jika tak ada air sama sekali.

Relakan Anak karena Tekanan Hidup

Dawari merantau ke Samarinda pada 1997. Mulanya menetap di Handil Kopi, Kecamatan Sambutan, sebelum hidup berpindah-pindah. Tiga tahun kemudian ia bertemu Mardiana yang kemudian menjadi istrinya. Pada 2003, anak pertama mereka lahir ke dunia. Saat itu juga Dawari mengajak istrinya tinggal di kawasan Rimbawan, Kelurahan Tanah Merah. Ia mendapat tugasnya menjaga kebun. Sempat  menerima upah bulanan. Namun uang berhenti mengalir ketika mandornya tutup usia.

Tekanan kehidupan membuat pasangan ini harus merelakan sang buah hati diasuh orangtua angkatnya dari Balikpapan. Dawari bersama istrinya berharap pemerintah bisa memberi mereka kehidupan lebih baik. “Kami bersyukur sekali, sing penting Mbah bisa hidup layak,” tutupnya. (*)

Tags

Berita Terkait

Back to top button
Close

Mohon Non-aktifkan Adblocker Anda

Iklan merupakan salah satu kunci untuk website ini terus beroperasi. Dengan menonaktifkan adblock di perangkat yang Anda pakai, Anda turut membantu media ini terus hidup dan berkarya.